Kebijakan Politik Obama di Palestina

Obama Sulit Bersikap Adil terhadap Palestina

Keraguan umat Islam terhadap Calon Presiden AS Barack Obama dapat menyelesaikan masalah Palestina secara adil dan menyeluruh semakin terbukti, apalagi berharap Obama akan mampu menghentikan kekejaman tentara Israel terhadap bangsa Palestina, menjadi suatu hal hampir mustahil.

Menurut laporan koresponden Al Jazeera di Ramallah, kunjungannya ke Israel dan Palestina yang dimulai Rabu (23/7) dijadwalkan akan berlangsung selama 36 jam. Sekitar 35 jam dialokasikan untuk pertemuan dengan sejumlah petinggi Israel, seperti PM Ehud Olmert, Menhan Ehud Barak, Presiden Shimon Perez, Benyamin Netanyahu serta pertemuan dengan komunitas yahudi, disamping mengunjungi Museum Holocaust dan Tembok Ratapan.

Sementara, hanya sekitar 40 menit saja dialokasikan dari waktu kunjungannya untuk bertemu dengan pemimpin Palestina. Itupun hanya Presiden Mahmoud Abbas dan PM Salam Fayedh di Ramallah. Sementara para pemimpin Palestina dari Hamas tidak ada dalam agenda kunjungannya, karena dianggap sebagai pemimpin kelompok teroris.

Koresponden Al Jazeera, mengatakan Obama diperkirakan tidak akan mengeluarkan statemen penting terkait dengan Palestina, namun yang lebih ia fokuskan adalah masalah perlunya dilakukan pencegahan agar Iran tidak memiliki rudal-rudal yang mampu mengancam keamanan Israel.

Obama bahkan secara terbuka ketika menanggapi ledakan bom di Jerusalem pada Selasa (22/7) mengatakan bahwa AS mendukung Israel. “AS akan tetap mendukung Israel dalam perangnya melawan terorisme dan haknya untuk mempertahankan diri dari aksi-aksi teror,” ujarnya.

Obama juga mengikuti tradisi politik AS yakni akan selalu tunduk kepada Yahudi dan siap membela negara Zionis Israel. New York Sun Editorial di awal tahun 2008 ini mengungkap bagaimana sikap Obama terhadap Israel.

“Saya memiliki komitmen yang jelas dan kuat atas keamanan Israel sekutu terkuat kita di wilayah itu dan satu-satunya di wilayah itu negara dengan demokrasi yang mapan. Dan itu akan menjadi titik awal saya,” ujarnya.

Obama juga mengatakan jika dia menjadi presiden Amerika maka negaranya akan membantu Israel. Hal ini dikatakan Obama kepada Dewan Demokrasi Yahudi Nasional (The National Jewish Democratic Council/NDJT) bulan Februari 2007.

“Mereka yang telah bekerja dengan saya di Chicago pada Dewan dan sekarang ada di Senat AS akan menyaksikan bahwa saya bukan cuma omong besar, saya akan melakukan apapun jika menyangkut keamanan Israel. Saya pikir ini hal yang fundamental. Saya kira ini menyangkut kepentingan AS kerena hubungan kami yang istimewa, karena Israel tidak hanya telah membangun demokrasi di wilayah itu tapi juga merupakan sekutu terdekat dan loyal kepada kita,” kata Obama lagi.

Kandidat Presiden dari Partai Demokrat ini mengatakan dia akan melakukan apapun semampunya untuk menjamin keamanan Israel dan melindungi hubungan yang ada antara Amerika Serikat dan Israel. “Saya berjanji kepada Anda bahwa saya akan melakukan apapun yang saya bisa dalam kapasitas apapun untuk tidak hanya menjamin keamanan Israel tapi juga menjamin bahwa rakyat Israel bisa maju dan makmur dan mewujudkan banyak mimpi yang dibuat 60 tahun lalu,” kata Obama dalam sebuah acara yang disponsori oleh Kedutaan Besar Israel di Washington untuk menghormati hari jadi negara Israel yang ke-60. Dia diperkenalkan oleh duta besar Israel kepada AS, Sallai Meridor

Sikapnya terhadap Hamas juga tidak berbeda dengan presiden Bush. “Saya sudah mengatakan bahwa mereka adalah organisasi teroris, yang tidak boleh kita ajak negosiasi kecuali jika mereka mengakui Israel, meninggalkan kekerasan, dan kecuali mereka mau diam oleh perjanjian sebelumnya antara Palestina dan Israel,” tandasnya.

Walhasil, umat Islam tidak perlu berharap Obama akan bersikap lebih adil kepada umat Islam terutama kaum muslim Palestina. Tidak perlu juga berharap Obama akan menghentikan Israel membantai umat Islam di Palestina, karena sikap politik AS sudah jelas, siapapun yang menjadi presiden AS tetap mendukung kepentingan Yahudi dan menjamin keamanan negara Israel. [syarif/alj/www.suara-islam.com



Obama, Palestina, dan Timur Tengah

Obama dilantik menjadi presiden ke-44 Amerika Serikat tanggal 20 Januari. Kebijakan luar negerinya ditunggu dunia, khususnya yang berpusat di kawah konflik: Timur Tengah. Kawasan ini telah jenuh dan jatuh apatis disebabkan kebijakan Bush. Kini tebersit harapan damai melalui Obama.

Meskipun demikian, media dan para analis politik di kawasan ini merespons dengan beragam pendapat: ada yang optimistis, tetapi lebih banyak yang pesimistis. Pihak yang pesimistis mendedahkan fakta terakhir, dalam menyikapi keberingasan militer Israel yang meluluhlantakkan Jalur Gaza, Obama malah hemat bicara. Ia hanya menegaskan kekhawatirannya soal korban sipil yang berjatuhan di kedua pihak—tetapi Obama tidak eksplisit menyebutkan korban di Palestina jauh lebih banyak. Ia berjanji akan berbuat banyak setelah dilantik.

Al Jazeera, kantor berita televisi terbesar di Timur Tengah yang sangat anti-Bush dan Israel serta pro-Hamas, menegaskan ”keunikan” Obama: seorang presiden pertama AS dari keturunan Afrika yang berkulit hitam, berasal dari keluarga Muslim (ayahnya) dan menghabiskan masa kecilnya di sebuah negara Muslim terbesar di dunia: Indonesia (aljazeera.net, 5/11/2008).

Pertanyaan selanjutnya adalah, seperti yang diajukan Saad Mahyu, seorang kolumnis dari Lebanon, apakah Obama akan membuat perubahan di dunia, seperti ia telah menciptakan perubahan di dalam negerinya: presiden pertama AS dari kalangan kulit hitam?

Berlebihan

Pertanyaan ini jelas berlebihan dengan menuntut sangat banyak dari Obama, seolah-olah perubahan yang ”harus” dilakukan oleh Obama di dunia internasional sebanding lurus dengan perubahan di dalam negerinya. Obama tetaplah presiden AS yang akan menentukan kebijakan luar negerinya tidak keluar dari garis kepentingan nasional Amerika.

Ketika Obama melontarkan kritik yang pedas pada kebijakan luar negeri Bush di Irak, dengan menuntut penarikan mundur tentara Amerika secara bertahap, bukan berarti Obama cenderung membela rakyat sipil Irak. Bagi Obama, kebijakan Bush yang kasar di kawasan Timur Tengah semakin membahayakan keamanan nasional Amerika, yang akan mengundang reaksi lebih keras dari lawan-lawannya.

Bernama lengkap Barack Hussein Obama dari nama Arab-Islam. Barack bisa berasal dari barrâk (yang dilimpahi berkah) atau baraq (kilat)—seperti Ehud Barak yang sebelumnya bernama Ehud Brog setelah masuk militer diubah jadi ”Barak” yang dalam bahasa Ibrani berarti kilat. Adapun Hussein sudah masyhur adalah nama Arab.

Obama juga diberitakan memiliki kedekatan dengan tokoh- tokoh Palestina di Amerika, seperti Rashid Khalidi yang dikabarkan pernah menggalang dana untuk Obama ketika mencalonkan diri sebagai senator di Illinois. Konon pula, Obama sering hadir dalam kuliah-kuliah cendekiawan besar Palestina: mendiang Edward Said.

Namun, kedekatan Obama dengan tokoh Palestina di Amerika tidak sebanding dengan kedekatan Obama dengan tokoh atau organisasi lobi Yahudi. Sehari setelah ditetapkan menjadi calon presiden dari Demokrat awal Juni 2008, Obama berpidato di majelis The American Israel Public Affairs Committee (AIPAC)—sebuah organisasi pelobi Yahudi di Amerika yang sangat berpengaruh—untuk menepis keraguan dukungan Obama terhadap negara Israel. Bukti dukungan itu dilanjutkan dengan kunjungan Obama ke negara Israel sebulan setelah itu.

Namun, apabila dibandingkan dengan presiden-presiden AS sebelumnya, Obama memiliki informasi dan kedekatan emosi yang lebih banyak tentang Islam, Arab, dan konflik di Timur Tengah. Kedekatannya dengan lobi Israel bisa dipahami. Siapa pun yang menjadi presiden AS tidak bisa menghindar dari segala bentuk lobi negara mana pun. Yang patut dipersoalkan, mengapa tidak ada lobi tandingan dari organisasi Islam atau Arab?

Jalur diplomasi

Kedekatan Obama dengan tokoh Yahudi dan Palestina di Amerika bisa menjadi modal Obama untuk menyikapi konflik lebih arif antara Israel dan Palestina. Obama juga menegaskan dukungannya pada prinsip ”dua negara (Israel dan Palestina) yang hidup berdampingan dengan damai”. Obama juga berjanji memilih jalur diplomasi, bukan konfrontasi.

Harapan juga datang dari rakyat Palestina dan penduduk Israel yang bermukim di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Survei yang dilakukan Pusat Penelitian dan Kajian Politik Palestina di Ramallah, Tepi Barat, menunjukkan, 57 persen rakyat Palestina dan 49 persen penduduk Israel menginginkan Obama melakukan peran yang lebih besar terhadap proses perdamaian di Timur Tengah (asharq alawsat, 17/12/2008).

Obama akan memprioritaskan konflik Israel-Palestina dibandingkan Irak dengan menyertakan langsung Suriah. Setelah isu Israel-Palestina, nuklir Iran akan menempati perhatian Obama berikutnya dan ikrar Obama adalah dialog dan diplomasi dengan Iran.

Di Timur Tengah, Obama akan menghadapi tiga persoalan serius. Pertama, di kawasan ini telah bercokol poros Iran, Suriah, Hezbollah, dan Hamas yang keberadaannya perlu dicermati meskipun mereka bersikap keras dan tanpa kompromi kepada siapa pun pemimpin Amerika. Kedua, negara sekutu Amerika, seperti Mesir dan Arab Saudi—yang selama ini menjadi penyeimbang kekuatan di Timur Tengah—dirundung korupsi dan otoritarianisme yang akut. Kondisi ini akan merugikan citra Obama dan dituding menggunakan ”standar ganda” dalam upaya demokratisasi di Timur Tengah. Ketiga, kebengalan militer Israel yang sering menciptakan kondisi di Timur Tengah semakin amburadul. Mampukah Obama mengendalikan Israel dan menggiringnya ke meja perundingan?

Tiga tantangan serius ini menempatkan Obama pada posisi yang sangat rumit dan dilematis. Namun, Obama tidak bisa lari dari kenyataan ini karena bukan hanya perdamaian dan bencana kemanusiaan yang akan semakin memburuk apabila gagal, taruhannya adalah kepentingan nasional Amerika.

Apakah Obama akan berhasil? Hanya hari-hari mendatang yang akan memberikan kita jawabannya.

Mohamad Guntur Romli

Sumber Kompas, 21 Januari 2009

Keterangan kartun: diambil dari koran harian di Jordania, yang tulisannya Obama “dukhul” (masuk) Bush “khuruj” (keluar)





OBAMA, PALESTINA, DAN TIMUR TENGAH


Oleh: Mohamad Guntur Romli

Obama dilantik menjadi presiden ke-44 Amerika Serikat tanggal 20 Januari. Kebijakan luar negerinya ditunggu dunia, khususnya yang berpusat di kawah konflik: Timur Tengah. Kawasan ini telah jenuh dan jatuh apatis disebabkan kebijakan Bush. Kini tebersit harapan damai melalui Obama.

Meskipun demikian, media dan para analis politik di kawasan ini merespons dengan beragam pendapat: ada yang optimistis, tetapi lebih banyak yang pesimistis. Pihak yang pesimistis mendedahkan fakta terakhir, dalam menyikapi keberingasan militer Israel yang meluluhlantakkan Jalur Gaza, Obama malah hemat bicara. Ia hanya menegaskan kekhawatirannya soal korban sipil yang berjatuhan di kedua pihak—tetapi Obama tidak eksplisit menyebutkan korban di Palestina jauh lebih banyak. Ia berjanji akan berbuat banyak setelah dilantik.

Al Jazeera, kantor berita televisi terbesar di Timur Tengah yang sangat anti-Bush dan Israel serta pro-Hamas, menegaskan ”keunikan” Obama: seorang presiden pertama AS dari keturunan Afrika yang berkulit hitam, berasal dari keluarga Muslim (ayahnya) dan menghabiskan masa kecilnya di sebuah negara Muslim terbesar di dunia: Indonesia (aljazeera.net, 5/11/2008).

Pertanyaan selanjutnya adalah, seperti yang diajukan Saad Mahyu, seorang kolumnis dari Lebanon, apakah Obama akan membuat perubahan di dunia, seperti ia telah menciptakan perubahan di dalam negerinya: presiden pertama AS dari kalangan kulit hitam?


Berlebihan
Pertanyaan ini jelas berlebihan dengan menuntut sangat banyak dari Obama, seolah-olah perubahan yang ”harus” dilakukan oleh Obama di dunia internasional sebanding lurus dengan perubahan di dalam negerinya. Obama tetaplah presiden AS yang akan menentukan kebijakan luar negerinya tidak keluar dari garis kepentingan nasional Amerika.

Ketika Obama melontarkan kritik yang pedas pada kebijakan luar negeri Bush di Irak, dengan menuntut penarikan mundur tentara Amerika secara bertahap, bukan berarti Obama cenderung membela rakyat sipil Irak. Bagi Obama, kebijakan Bush yang kasar di kawasan Timur Tengah semakin membahayakan keamanan nasional Amerika, yang akan mengundang reaksi lebih keras dari lawan-lawannya.

Bernama lengkap Barack Hussein Obama dari nama Arab-Islam. Barack bisa berasal dari barrâk (yang dilimpahi berkah) atau baraq (kilat)—seperti Ehud Barak yang sebelumnya bernama Ehud Brog setelah masuk militer diubah jadi ”Barak” yang dalam bahasa Ibrani berarti kilat. Adapun Hussein sudah masyhur adalah nama Arab.

Obama juga diberitakan memiliki kedekatan dengan tokoh- tokoh Palestina di Amerika, seperti Rashid Khalidi yang dikabarkan pernah menggalang dana untuk Obama ketika mencalonkan diri sebagai senator di Illinois. Konon pula, Obama sering hadir dalam kuliah-kuliah cendekiawan besar Palestina: mendiang Edward Said.

Namun, kedekatan Obama dengan tokoh Palestina di Amerika tidak sebanding dengan kedekatan Obama dengan tokoh atau organisasi lobi Yahudi. Sehari setelah ditetapkan menjadi calon presiden dari Demokrat awal Juni 2008, Obama berpidato di hadapan AIPAC—sebuah organisasi pelobi Yahudi di Amerika yang sangat berpengaruh—untuk menepis keraguan dukungan Obama terhadap negara Israel. Bukti dukungan itu dilanjutkan dengan kunjungan Obama ke negara Israel sebulan setelah itu.

Namun, apabila dibandingkan dengan presiden-presiden AS sebelumnya, Obama memiliki informasi dan kedekatan emosi yang lebih banyak tentang Islam, Arab, dan konflik di Timur Tengah. Kedekatannya dengan lobi Israel bisa dipahami. Siapa pun yang menjadi presiden AS tidak bisa menghindar dari segala bentuk lobi negara mana pun. Yang patut dipersoalkan, mengapa tidak ada lobi tandingan dari organisasi Islam atau Arab?


Jalur diplomasi
Kedekatan Obama dengan tokoh Yahudi dan Palestina di Amerika bisa menjadi modal Obama untuk menyikapi konflik lebih arif antara Israel dan Palestina. Obama juga menegaskan dukungannya pada prinsip ”dua negara (Israel dan Palestina) yang hidup berdampingan dengan damai”. Obama juga berjanji memilih jalur diplomasi, bukan konfrontasi.

Harapan juga datang dari rakyat Palestina dan penduduk Israel yang bermukim di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Survei yang dilakukan Pusat Penelitian dan Kajian Politik Palestina di Ramallah, Tepi Barat, menunjukkan, 57 persen rakyat Palestina dan 49 persen penduduk Israel menginginkan Obama melakukan peran yang lebih besar terhadap proses perdamaian di Timur Tengah (asharq alawsat, 17/12/2008).

Obama akan memprioritaskan konflik Israel-Palestina dibandingkan Irak dengan menyertakan langsung Suriah. Setelah isu Israel-Palestina, nuklir Iran akan menempati perhatian Obama berikutnya dan ikrar Obama adalah dialog dan diplomasi dengan Iran.

Di Timur Tengah, Obama akan menghadapi tiga persoalan serius. Pertama, di kawasan ini telah bercokol poros Iran, Suriah, Hezbollah, dan Hamas yang keberadaannya perlu dicermati meskipun mereka bersikap keras dan tanpa kompromi kepada siapa pun pemimpin Amerika. Kedua, negara sekutu Amerika, seperti Mesir dan Arab Saudi—yang selama ini menjadi penyeimbang kekuatan di Timur Tengah—dirundung korupsi dan otoritarianisme yang akut. Kondisi ini akan merugikan citra Obama dan dituding menggunakan ”standar ganda” dalam upaya demokratisasi di Timur Tengah. Ketiga, kebengalan militer Israel yang sering menciptakan kondisi di Timur Tengah semakin amburadul. Mampukah Obama mengendalikan Israel dan menggiringnya ke meja perundingan?

Tiga tantangan serius ini menempatkan Obama pada posisi yang sangat rumit dan dilematis. Namun, Obama tidak bisa lari dari kenyataan ini karena bukan hanya perdamaian dan bencana kemanusiaan yang akan semakin memburuk apabila gagal, taruhannya adalah kepentingan nasional Amerika.

Apakah Obama akan berhasil? Hanya hari-hari mendatang yang akan memberikan kita jawabannya.


Penulis: Pemerhati Politik di Timur Tengah

Sumber: Harian Kompas, Rabu 21 Januari 2009

\



Obama Ulangi Kebijakan Bush

Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton dalam safarinya ke Asia, memuji pencapaian Korea Selatan pada demokrasi dan kemajuan serta menyebut Korea Utara sebagai negara yang masih diliputi kemiskinan dan kediktatoran. Pada saat yang sama, Menlu AS dalam konferensi pers di Seoul, hari Jumat, juga mengapresiasi sikap rakyat dan para pemimpin Korea Selatan karena memilih bersikap diam dalam mereaksi langkah-langkah provokatif Korea Utara. Dikatakannya pula, masalah Korea Utara menjadi faktor utama yang mempersatukan AS dan Korea Selatan. Lebih lanjut, Clinton menyebut tindakan Korea Utara sebagai problem maker di tinngkat politik luar negeri AS, regional dan dunia.
Dalam kesempatan tersebut, Hillary mengenalkan Steven Bosworth sebagai utusan khusus AS untuk Korea Utara. Clinton seraya membela penunjukkan diplomat berpengalaman Boswort yang ditugaskan untuk urusan Korea Utara, mengatakan, "Kami membutuhkan seorang yang berpengalaman untuk menghadapi Korea Utara, sehingga keberhasilan nuklir, perluasan teknologi sensitif militer dan problema hak asasi manusia di negeri ini dapat dicegah."

Para pengamat politik berpendapat bahwa Clinton dalam konferensi pers di Seoul mengomentari Korea Utara dengan menggunakan retorika lama yang sebelumnya diterapkan Mantan Presiden George W Bush. Padahal retorika radikal seperti itu sama sekali tak pernah membantu menyelesaikan krisis di Semenanjung Korea, tapi malah memperkeruh suasana. Ternyata, kebijakan lama Bush juga diterapkan pemerintah baru AS di bawah komando Presiden Barack Obama. Bahkan menurut para pengamat, retorika intimidatif yang digunakan Bush sebelumnya dalam menyikapi masalah Korea Utara malah mendorong Pyongyang mencapai senjata nuklir dan memperkeruh konflik antara Korea Utara dan negara-negara di kawasan. Dengan demikian, retorika lama yang kembali dilakukan Hillary dalam menyikapi Korea Utara mengulangi kekeliruan Bush, bahkah memperkeruh bahaya perang di kawasan ini.

Menyaksikan fenomena tersebut, para analis menyatakan bahwa Obama tetap menerapkan kebijakan lama Washington. Dengan demikian, ia inkonsisten dengan janjinya yang akan mengesampingkan politik perang. Sikap intimidatif kembali diterapkan pemerintah baru AS dalam mereaksi Korea Utara. Tentunya, kebijakan semacam ini malah akan mendorong Pyongyang untuk memperkuat dan mempersenjatai diri dalam rangka menghadapi kemungkinan ancaman Korea Utara.

Penekanan Pyongyang untuk menguji roket berjelajah jarak terjauh di negara ini, Taepodong 2, dan pernyataan militer Korea Utara untuk menghadapi Korea Selatan, mencerminkan sikap protes negara ini atas pelaksanaan manuver baru antara AS dan Korea Selatan. Dengan demikian, tekanan dan intimidasi terhadap Korea Utara malah menjadi bumerang dan kontraproduktif bagi kebijakan politik luar negeri AS.

Para analis dalam analisa lainnya berpendapat, pernyataan radikal Menteri Luar Negeri AS mempunyai tendensi propadanda yang bertujuan memperkokoh posisi Presiden Korea Selatan, Lee Myung Bak. Namun kebijakan Lee yang berkiblat pada Washington malah justru dinilai memperkeruh kondisi di kawasan.

Sementara itu, berlanjutnya konflik antara Korea Utara-Korea Selatan dan krisis di negara ini yang merupakan dampak dari krisis keuangan di AS, terus menuai kritikan dan protes dari dalam negeri Korea Selatan.



Obama, Palestina, dan AIPAC

rman Abdurrahman
Tenaga Ahli Anggota Fraksi PAN di Komisi Luar Negeri DPR RI

Rakyat Amerika Serikat dan warga dunia yang ingin “merayakan” kemungkinan berakhirnya periode panjang dominasi kaum neokonservatif terhadap kebijakan luar negeri Washington saat Barack Obama mengungguli Hillary Clinton dalam nominasi kandidat presiden dari Partai Demokrat tampaknya harus menunggu lebih lama lagi.

Membaca pidatonya di hadapan tujuh ribu hadirin pada konferensi tahunan American Israel Public Affairs Committee (AIPAC)—sebuah kelompok lobi Israel paling berpengaruh—sehari setelah mengamankan nominasi, kita tidak menemukan perbedaan signifikan antara Obama, kandidat yang dicitrakan progresif, pro-perubahan, dan anti-perang, dengan para rivalnya, seperti Clinton, John McCain, dan bahkan George W. Bush dalam konteks kebijakan terhadap Timur Tengah, khususnya Palestina.

Ia berbicara tentang Israel seolah-olah negara itu adalah domba di tengah kawanan serigala. Obama sepertinya lupa bahwa negara itu didirikan enam dekade silam lewat serangkaian aksi genosidal yang mengusir jutaan penduduk asli Palestina.

Tak satu patah kata pun terlontar dari mulut Obama tentang orang-orang Palestina yang hidup dengan tank, buldoser, senapan, dan mortir Israel sebagai menu sehari-hari mereka. Pada tahun 2006 saja, berdasarkan catatan B’Tselem, kelompok HAM Israel, militer Israel telah membunuh 600 orang Palestina, dimana 141 di antaranya adalah anak-anak. Jumlah ini tiga kali lipat dari korban brutalitas Israel pada 2005.

Tak pula terdengar simpati Obama kepada kondisi kehidupan ratusan ribu penduduk Gaza yang hidup dalam dingin dan gelap, karena apa yang disebut B’Tselem sebagai “kebijakan berdarah dingin Israel” telah menghancurkan satu-satunya pembangkit listrik di Gaza; atau kepada para pasien Palestina yang tak tertolong karena tidak diizin­kan melintasi Erez; atau kepada para buruh Palestina yang menganggur dan anak-anak yang tak bersekolah karena pos-pos pemeriksaan Israel membuat perjalanan empat jam harus ditempuh seharian.

Namun, Obama cukup sensitif kepada sisi kemanusiaan ketika menceritakan pengalamannya melihat sebuah rumah warga Israel yang rusak karena roket-roket rakitan pejuang Palestina. Sayangnya, Obama tidak sensitif dengan ratusan rumah rakyat Palestina yang diratakan dengan tanah demi membangun pemukiman-pemukiman Yahudi, yang telah divonis ilegal oleh Mahkamah Internasional.

Obama bersumpah untuk mendukung sebuah “Yerusalem yang tidak terbagi” tetapi sayang ia akan ‘menghadiahkan’ kota suci itu ke tangan rezim yang mencurinya pada 1967. Tak satu pun negara di dunia ini yang mengakui aneksasi Israel atas Yerusalem karena semuanya, termasuk Amerika Serikat sendiri, tidak ingin dianggap mengabaikan Resolusi PBB 181 yang menetapkan Yerusalem sebagai kota internasional. Tak satu pun pemimpin Palestina, termasuk Fatah, dan yang akan berdamai dengan Israel tanpa Haram asy-Syarif, tempat suci ketika Muslim dan simbol nasionalisme Palestina, dimasukkan ke dalam bagian kedaulatan Palestina.

Tak lupa, Obama pun tetap menjanjikan keberlanjutan bantuan 30 milyar dolar demi membantu Israel mempertahankan diri terhadap serangan dari Tehran hingga Gaza, seolah warga Gaza yang kelaparan itu tengah membangun rudal-rudal balistik antarbenua.

AIPAC

Memang naif mengharapkan seorang Obama melancarakan kritik terhadap Israel dan mendudukan persoalan Palestina secara jujur dalam forum AIPAC. Obama hanya melakukan apa yang ia harus lakukan agar dapat terpilih, dan akan terus melakukan hal itu sepanjang memastikannya tetap berada dalam kekuasaan.

Barack Obama bukanlah politisi bodoh. Ia tahu benar kelemahannya (hubungannya dengan Muslim, nama tengahnya, dan jejak kedekatannya dengan para pemimpin komunitas Arab di Chicago) sekaligus sangat sadar akan dua hal yang menggerakkan mesin politik Amerika: media dan uang.

Keduanya kini dimiliki oleh ja­ringan lobi Israel dengan AIPAC sebagai intinya. Meskipun kaum Zionis Amerika adalah minoritas di komunitas Yahudi Amerika tetapi mereka militan dan terkonsentrasi di negara-negara bagian yang jumlah delegasi dan suara elektoralnya tinggi (New York, California, Florida, Pennsylvania, Ohio, dan Illinois ).

Mereka kerap menyumbang dana kampanye di luar proporsi yang wajar jika dibandingkan dengan jumlah suara konstituen Yahudi yang hanya 2% dari populasi AS. Dalam pemilihan pendahuluan saja, tim pendanaan kampanye Obama yang diketuai Penny Pritzker—seorang Zionis liberal yang berasal dari keluarga pemilik jaringan hotel ternama di dunia—mampu mengumpulkan dana 272 juta dolar; sebuah kekuatan finansial yang kini membuat ketar-ketir kubu McCain.

Mereka pun memiliki figur-figur kunci yang bisa membentuk opini publik, baik di tingkat lokal maupun nasional. Kandidat-kandidat dengan nilai minus dalam hal dukungan bagi Israel , seperti Ron Paul dan Dennis Kucinich, dengan cepat terkucilkan dari media.

AIPAC juga memiliki hubungan erat dengan sejumlah lembaga think-tank berpengaruh, seperti American Enterprise Institute, Jewish Institute for National Security Affairs, Middle East Forum, The Project for the New American Century (PNAC), dan Washington Institute for Near East Policy (WINEP), yang menyumbang seorang Dennis Ross (bekas koordinator khusus Timur Tengah, masa Bill Clinton) sebagai pena­sehat tim kampanye Obama.

Jika demikian, “perubahan wajah” Obama—yang saat menjadi Senator di Illinois pernah mengkritik Israel dalam sebuah pertemuan bersama Edward Said pada Mei 1998 di Chicago—bukanlah hal yang mengejutkan. Hal ini sekaligus memberi pelajaran bahwa dalam demokrasi elit, adalah uang dan media—yang dioperasikan lewat jaringan-ja­ringan nan canggih dan terkoordinasi—yang memberi pengaruh kepada kebijakan.

Oleh karena, sebagaimana pernah disarankan Said, demokrasi akar rumputlah yang harus dige­rakkan lewat pencerahan massa rakyat, khususnya rakyat Amerika dalam konteks Palestina.

Andai rakyat Amerika tahu uang-uang yang mereka bayarkan sebagai pajak telah digunakan untuk melakukan kejahatan kemanusiaan di Palestina; bahwa Israel secara sengaja menye­rang USS Liberty di Semenanjung Sinai pada 1967 (34 marinir AS tewas); bahwa perang Irak yang menewaskan lebih 4 ribu tentara AS dilancarkan demi kepen­tingan Israel; dan bahwa Amerika selalu siap menjamin suplai minyak Israel meski hal itu menyebabkan berkurangnya cadangan domestik (MoU AS-Israel 1975, ditandatangani Cyrus R. Vance dan Moshe Dayan), mereka akan menyadari apa yang mereka bayarkan telah menghasilkan “sebuah kejahatan terbesar yang pernah saya saksikan,” tulis mendiang Rachel Corrie—aktivis Amerika yang tewas dilindas buldoser Israel pada 2003 di Rafah.




Obama Ubah Sikap Politik Terhadap Palestina, Israel Terusik


Riliskan!com–Permintaan Presiden Barack Obama kepada Kongres untuk diizinkan melanjutkan pemberian bantuan kepada pemerintahan Palestina mengusik pemerintahan Israel dan para pendukungnya di Kongres. Pasalnya, bantuan itu melibatkan Hamas yang menjadi musuh bebuyutan Israel. Bantuan itu dikhawatirkan Israel jatuh ke tangan Hamas yang diidentifikasi pemerintahan AS sebagai gerakan teroris.

Menurut undang-undang yang berlaku di AS, gerakan yang dicap teroris diharamkan untuk menerima bantuan dalam bentuk apapun. Demi melancarkan kebijakannya, Presiden Obama meminta Kongres untuk mengamandemen sedikit dari butir yang ada dalam undang-undang tersebut.

Menurut sumber pemerintahan Israel, keputusan seperti itu menegaskan Obama berniat membuka pintu dialog dengan Hamas dan mengendorkan embargo internasional terhadapnya. Perdana Menteri Benyamin Netanyahu, menurut sumber tersebut, akan mengangkat persoalan ini dalam pertemuannya dengan Presiden Obama pada 18 Mei 2009 mendatang. Netanyahu meyakini inisiatif Obama hanya akan memperkuat posisi Hamas yang menolak proses damai, yang dapat menggagalkan upaya perdamaian yang selama ini telah dirintis.

Mark Stephen K, anggota Partai Republik dari negara bagian Illinois, mengkritik kebijakan Obama. Hal itu ia ungkapkan saat dengar pendapat dengan Menlu AS Hillary Clinton di Kongres pekan lalu. “Sesungguhnya apa yang direncanakan pemerintah (Obama–red.) sama halnya dengan memberikan dukungan kepada pemerintah yang agak menyerupai Nazi,” katanya. Wakil Partai Demokrat Adam Scipt pun sependapat. “Usulan yang ada nampaknya tidak bisa diterima sama sekali meskipun seluruh anggota pemerintah yang mendukung Hamas memenuhi syarat-syarat yang dipinta, karena kita tidak mungkin membiarkan organisasi teroris menduduki posisi kementerian dalam sebuah pemerintahan, ” tandasnya.

Pemerintahan Obama meyakini usulan baru tersebut tidak akan menyebabkan pada pengakuan terhadap eksisten Hamas. Menlu Hillary mendukung inisiatif Presiden Obama dengan mengatakan pemerintahan Amerika menyokong pemerintahan Libanon dan membantu secara finansial meskipun di dalamnya terdapat anasir dari Hizbullah yang sejajar dengan posisi Hamas sebagai organisasi teroris.

Hillary menambahkan, pemerintahan Obama sedang berusaha merubah sedikit sikap politiknya secara perlahan terhadap Hamas, sebagaimana itu juga dilakukan terhadap pasukan Republik Irlandia ketika berkontribusi pada proses damai, meski itu tidak disepakati oleh seluruh anggota gerakan tersebut. “Kita tidak ingin mengangkat tangan kita ketika tercapai kesepakatan seperti ini, dan pemerintah menyetujui syarat-syarat yang kita letakkan,” ujarnya. (adb/SA/LA Times)





Di Tangan Obama, Kemana Isu Palestina?


George W. Bush, sejak menjadi Presiden AS, mempunyai impian mendirikan "dua negara untuk dua bangsa (Palestina dan Israel) berdampingan dengan damai”, lantas apa yang akan terjadi dengan Palestina pasca-lengsernya Bush dan naiknya Barack Obama?

Sejak tahun 1967, tidak ada satu pun Presiden AS yang bertentangan dengan kebijkanan yang diambil oleh Tel Aviv. Kuatnya pengaruh lobi Yahudi (AIPAC) di Washington dalam mempengaruhi Kebijakan Politik Luar Negeri AS melatarbelakangi hal ini .

Semua Presiden AS teguh meemegang Doktrin Israel First, yaitu mendahulukan kepentingan Israel dalam menyelesaikan masalah Timur Tengah, khususnya dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Doktrin ini, pun dalam penyelesaian masalah resesi ekonomi dunia, diapakai oleh AS, sesuatu yang menimbulkan kemarahan rakyat Paman Sam.

Selama menjabat sebagai Presiden AS, Bush jelas-jelas selalu membela Israel. Ia hadir dalam berbagai penyerangan Israel ke Palestina dan menyiapkan segala infrasturktur plus advokasi internasional di PBB. Dalam kasus agresi militer Israel akhir 2008, Bush telah mengirimkan banyak bantuan yang tak terhingga. Bahkan selalu menyalahkan Hamas untuk semua kondisi yang ada, dan ia menyebut Hamas sebagai pihak yang harus bertanggung jawab karena dianggap sebagai pemicu kerusuhan di Palestina. Pemerintahan Bush telah berhasil mengisolasi Palestina, sehingga persoalan Palestina seolah hanya dianggap sebagai masalah internal Bangsa Palestina saja.

Bush juga sukses menciutkan nyali negara Arab lainnya dalam membantu Palestina. Siapapun yang mempunyai perhatian besar kepada Palestina, maka Bush mencapnya dengan sebutan “teroris”, apalagi wilayah Palestina di jalur Gaza dikuasai oleh Hamas yang telah lama dicap oleh AS sebagai organisasi “teroris”.

Lantas bagaimana dengan Barack Obama?

Setelah ampir dua bulan setelah Obama menjadi Presiden AS, tidak sulit kemana menebak arah kebijakan presiden yang digadang-gadang membawa perubahan ini. Tidak ada sesuatu pun yang baru pada Obama. Untuk Palestina, Obama sepertinya akan mengikuti jejak suksesornya dulu, Bush. New York Times mengungkapkan, "…Pada hari pertama masa tugas saya, saya akan memberikan tugas baru kepada militer: menghentikan perang. Sebagaimana telah saya katakana berkali-kali, kita harus berhati-hati dalam melepaskan diri dari Irak, sebagaimana dulu kita sedemikian cerobah melibatkan diri [dalam konflik ini]. Kita harus memindahkan pasukan kita dengan aman dalam jangkan waktu 16 bulan. …. Setelah itu, akan ada ‘pasukan sisa’ yang bertahan di Irak untuk melakukan misi terbatas: mengejar sisa-sisa Al Qaida di Mesopotamia, melindungi para pegawai Amerika dan melatih pasukan keamanan Irak seiring dengan kemajuan politik di Irak. Jadi, ini bukanlah penarikan [pasukan] yang tergesa-gesa..."

Banyak mengatakan bahwa statemen Obama ini merupakan pandangan dasarnya terhadap masalah Timur Tengah, lebih spesifik lagi, Palestina. Obama menyatakan tidak akan pernah mau membuka dialog dengan Hamas. Artinya sekali lagi, Obama tidak akan mengubah apapun di Palestina selama beberapa tahun ke depan. Selama Kongres AS, menteri dan para donatur lobi Obama masih itu-itu saja tidak ada yang bisa diharapkan darinya. (sa/nyt/)





Obama Tak Peduli Konflik Gaza

NILAH.COM, Jakarta - Pidato pertama Presiden AS Barack Hussein Obama mengesankan jutaan orang yang menyaksikannya. Namun sayang, Obama tidak menyinggung soal kebijakan yang akan diambilnya pada konflik Gaza. Obama dinilai tidak peduli dengan harapan warga Palestina.

"Palestina tidak bisa berharap banyak pada Obama. Karena pada pidatonya yang tidak menyinggung konflik Gaza menjadi indikator yang sangat jelas, Obama tidak peduli pada konflik itu," ujar pengamat Hubungan Intenasional Universitas Paramadina Bima Arya Sugiarto kepada INILAH.COM di Jakarta, Rabu (21/1).

Menurut Bima, hal itu merupakan suatu realitas politik yang menunjukkan faktor indiviu Obama tidak bisa mempengaruhi kebijakan poltik luar negeri AS. "Sikap Obama akan dipengaruhi oleh faktor internal yakni kebijakan politik luar negeri AS yang sudah lama terbentuk dan lobi-lobi Yahudi yang kuat tehadap AS," katanya.

Ia menjelaskan, secara pribadi, Obama juga akan sulit menolak lobi yang dilakukan Yahudi. Sebab, Yahudi merupakan salah satu penyandang dana terbesar alam kampanye politik Obama menjelang pilpres di AS beberapa waktu lalu.

Di AS, sambungnya, saat ini juga ada sebuah kelompok kepentingan milik Yahudi yang secara intensif membentuk jaringan lobi dengan pemerintah AS yang mempengaruhi kebijakan luar negerinya. "Kelompok itu bernama American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) yang memiliki tokoh penting yang juga menduduki kursi penting baik di pemerintahan maupun di kongres AS," ungkapnya.

Selain itu, tambahnya, secara historis Partai Demokrat yang merupakan partai pendukung Obama memiliki kedekatan dengan jaringan Yahudi. "Jadi kemungkinan AS yang dipimpin oleh Obama dapat mendamaikan Israel-Palestina sangat kecil. Saya kira paling banter hanya gencatan senjata lagi yang kan terjadi. Kalau perdamaian yang menguntungkan Palestina akan sulit terjadi," pungkasnya. mut/nng]




Pidato Obama Soal Israel Dikecam Keras Palestina

BERITA - berita-politik-dunia.infogue.com - Pidato Barack Obama di depan kelompok lobi AS-Israel menuai kecaman keras dari Palestina. Gerakan pejuang Palestina, Hamas menyebut pidato Obama itu mempertegas "permusuhan" AS terhadap Arab dan muslim.

"Kami menganggap statemen Obama sebagai bukti lebih jauh akan permusuhan pemerintah Amerika terhadap Arab dan muslim," kata juru bicara Hamas, Sami Abu Zuhri.

Dalam pidatonya di depan lembaga American Israel Public Affairs Council (AIPAC) di Washington, Obama menegaskan dukungannya untuk Israel. Dikatakannya bahwa Yerusalem akan tetap menjadi ibukota Israel yang tak terbagi.

Pernyataan ini mengudang kecaman pihak Palestina. Sebab rakyat Palestina, termasuk Presiden Mahmoud Abbas telah menuntut Yerusalem timur menjadi ibukota negara Palestina mendatang. Yerusalem timur diduduki dan dikuasai oleh Israel sejak perang tahun 1967 silam.

Selama ini komunitas internasional, termasuk AS tidak pernah mengakui klaim Israel atas seluruh wilayah Yerusalem. Maka tak heran kata-kata Obama tersebut mengudang protes keras dari pihak Palestina.

"Kami menolak kata-kata itu," kata Abbas kepada wartawan seperti dilansir Reuters, Kamis (5/6/2008).

"Yerusalem merupakan salah satu file yang sedang dinegosiasi. Seluruh dunia tahu benar kalau kami tak akan pernah menerima satu negara (Palestina) tanpa Yerusalem timur sebagai ibukotanya. Itu seharusnya sudah jelas," tegas Abbas.

Dalam pidatonya, Obama juga menegaskan dirinya tidak akan bernegosiasi dengan Hamas sebelum mau mengakui Israel dan menghentikan kekerasan.

Negosiator terkemuka Palestina Saeb Erakat juga mengecam Obama. "Komentarnya mengenai Yerusalem menimbulkan keraguan atas peluang perdamaian," cetus Erakat.

Diimbuhkannya, pernyataan Obama itu bertolak belakang dengan posisi AS selama ini yang menganggap Yerusalem timur sedang diduduki Israel. Menurutnya, pidato Obama merusak harapan untuk perubahan kebijakan AS terhadap konflik Arab-Israel.





Followers